Jumat, 12 November 2010

Allah Sebagai Saksi dan Penjamin

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw., beliau bercerita, "Sesungguhnya ada seorang Bani Israel yang memohon kepada Bani Israel lainnya untuk meminjaminya uang seribu dinar. Orang yang meminjamkan berkata, 'Datangkanlah saksi-saksi. Aku ingin mempersaksikan peminjaman ini kepada mereka.' Peminjam berkata, 'Cukuplah Allah sebagai saksinya.' Orang yang meminjamkan berkata, 'Datangkanlah seorang penjamin.' Peminjam berkata, 'Cukuplah Allah sebagai penjamin.' Orang yang meminjamkan berkata, 'Kamu benar.' Kemudian dia memberikan uang itu hingga tempo tertentu.

Peminjam uang pergi ke laut untuk memenuhi hajatnya. Kemudian dia merasa sangat membutuhkan perahu untuk mengantarkan uang pinjamannya yang sudah jatuh tempo pembayarannya. Namun, dia tidak menemukannya. Kemudian dia mengambil kayu dan melubanginya. Lalu dia memasukkan ke dalamnya uang seribu dinar berikut secarik tulisan yang ditujukan kepada pemilik uang. Kemudian melapisinya agar tidak terkena air. Lalu dia membawa kayu ke laut. Dia berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya telah meminjam uang seribu dinar kepada si Fulan. Dia meminta penjamin dariku, kemudian kukatakan bahwa cukuplah Allah sebagai penjamin, dan dia pun rela. Dia memintaku mendatangkan saksi, lalu kukatakan bahwa cukuplah Allah sebagai saksi, dan dia pun rela. Sesungguhnya aku telah berusaha untuk mendapatkan perahu yang akan kugunakan untuk mengantarkan uangku kepadanya, namun aku tidak mendapatkannya. Kini, kutitipkan uang itu kepada-Mu.' Kemudian dia melemparkan kayu itu hingga tenggelam. Dia pun pergi. Walau demikian, dia tetap berusaha mencari perahu yang menuju ke negeri orang yang meminjamkan.

Kini, orang yang meminjamkan uang pergi untuk menanti. Barangkali ada perahu datang membawa piutangnya. Tiba-tiba dia menemukan kayu yang berisi uang itu. Dia membawanya pulang sebagai kayu bakar untuk istrinya. Tatkala dia membelahnya, dia menemukan uang dan secarik pesan. Di lain pihak, si peminjam pun datang juga membawa seribu dinar. Dia berkata, 'Demi Allah, sebelum aku datang sekarang, aku senantiasa berusaha untuk mendapatkan perahu guna mengantarkan pinjaman kepadamu.' Orang yang meminjamkan berkata, 'Apakah kamu mengirimkan sesuatu kepadaku?' Peminjam berkata, 'Bukankah telah kuceritakan kepadamu bahwa aku tidak menemukan perahu, sebelum saya mendapatkannya sekarang ini?' Orang yang meminjamkan berkata, 'Sesungguhnya Allah telah mengantarkan pinjamanmu yang kau taruh dalam kayu. Maka gunakanlah uangmu yang seribu dinar itu dengan baik."

Sanad riwayat ini sahih. Al-Bukhari meriwayatkan pula kisah ini dalam bentuk yang ketat.

sumber : kisah-kisah islam.help by heksa

Sabtu, 06 November 2010

Idul Adha, Arti Sebuah Ketaatan dan Kesabaran

Hari raya Idul Adha merupakan hari raya kedua setelah Idul Fitri. Seluruh umat Islam di dunia ini menyambut keduanya dengan seruan takbir, tahmid, tahlil kepada Allah yang Maha Besar. Dalam bulan Dzulhijjah terdapat suatu ibadah yang akan menyempurnakan rukun Islam seorang muslim yakni ibadah haji ke Baitullah. Umat Islam sedunia menunaikan panggilan Rabb mereka dalam bentuk ketaatan, kesabaran, dan keikhlasan dalam melaksanakan ibadah haji tersebut. Dan dambaan setiap orang yang berhaji adalah mendapatkan gelar dari Allah yaitu menjadi haji yang mabrur.
Lalu, dalam bulan Dzulhijjah pula Allah SWT menyuruh hambanya untuk berkurban. Hal ini bermula dari bagaimana nabi Ibrahim as bermimpi untuk menyembelih putranya nabi Ismail as. Ini adalah perintah dari Allah azza wajalla sebagaimana firman – Nya dalam QS. As - Shaaffaat : 102 yang artinya “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Nabi Ibrahim sebagai rasul mempunyai tugas untuk menyampaikan risalah Illahi kepada umatnya. Disamping itu, ketaatan dan kesabaran beliau menjadi salah bukti bahwa nabi Ibrahim patut menjadi suri tauladan. Bagaimana reaksi masyarakat kala itu ketika kalimat Allah mulai ditegakkan. Banyak sekali cobaan dan rintangan yang beliau hadapi. Dan salah satunya adalah peristiwa penyembelihan putra beliau nabi Ismail as yang dilakukan pada bulan dzulhijjah.
Dari sini kita dapat menarik kesimpulan, bahwa bagaimana ketaatan nabi Ibrahim dan nabi Ismail dalam menjalankan perintah Allah SAW. Dan bagaimana pula kesabaran nabi Ismail sehingga ia berkata kepada bapaknya bahwa nabi Ibrahim akan mendapatinya termasuk orang – orang yang sabar.
Nabi Muhammad SAW pun mempunyai ketaatan dan kesabaran seperti nabi Ibrahim as dan nabi Ismail as. Maka, sepatutnya kita sebagai umat nabi Muhammad SAW mencontoh dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari – hari. Sebagai khalifah di muka bumi ini kita seharusnya menjaga amanah yang telah diberikan Allah SWT kepada kita. Dengan penuh ketaatan dan kesabaran amanah itu akan terasa indah karena kita melakukan hal tersebut untuk mencari ridho Allah SWT.
Saat ini para pemimpin yang ada seharusnya dan sepatutnya mencontoh nabi Ibrahim dan nabi Ismail dalam ketaatan kepada Rabb dan dalam kesabaran di setiap cobaan yang Allah SWT berikan. Jangan terlena terhadap nafsu duniawi dan mengembalikan semua yang terjadi kepada pemilik hidup ini. Hidup ini akan terasa indah jika setiap hembusan nafas kita dihiasi dengan ketaatan, ketaqwaan, serta kesabaran. Sehingga kita tidak hanya simbolis memperingati hari raya kurban ini dengan menyembelih hewan akan tetapi jauh dari itu untuk menjadi hamba Allah SWT yang taat, patuh, terhadap apa yang telah ditetapkan dan sabar dalam setiap cobaan yang diberikan Allah SWT kepada kita, karena yakinlah bahwa ini semua adalah bentuk ujian dari Allah SWT agar kita menjadi hamba- Nya yang kelak mendapat surga Allah Azza wajalla. Amiin yaa rabbal ‘alamin.

Ciputat, 27 November 2009/ 10 Dzulhijjah 1430 H
Pkl. 17.33 WIB 

Senin, 01 November 2010

Air Mata yang Menuntun ke Surga


REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Dua ilmuwan pernah melakukan penelitian disertasi tentang air mata. Kedua peneliti tersebut berasal dari Jerman dan Amerika Serikat. Hasil penelitian kedua peneliti itu menyimpulkan bahwa air mata yang keluar karena tepercik bawang atau cabe berbeda dengan air mata yang mengalir karena kecewa dan sedih.

Air mata yang keluar karena tepercik bawang atau cabe ternyata tidak mengandung zat yang berbahaya. Sedangkan, air mata yang mengalir karena rasa kecewa atau sedih disimpulkan mengandung toksin, atau racun. Kedua peneliti itu pun merekomendasikan agar orang-orang yang mengalami rasa kecewa dan sedih lebih baik menumpahkan air matanya. Sebab, jika air mata kesedihan atau kekecewaan itu tidak dikeluarkan, akan berdampak buruk bagi kesehatan lambung.

Menangis itu indah, sehat, dan simbol kejujuran. Pada saat yang tepat, menangislah sepuas-puasnya dan nikmatilah karena tidak selamanya orang bisa menangis. Orang-orang yang suka menangis sering kali dilabeli sebagai orang cengeng. Cengeng terhadap Sang Khalik adalah positif dan cengeng terhadap makhluk adalah negatif.

Orang-orang yang gampang berderai air matanya ketika terharu mengingat dan merindukan Tuhannya, air mata itu akan melicinkannya menembus surga. Air mata yang tumpah karena menangisi dosa masa masa lalu akan memadamkan api neraka.

Hal ini sesuai dengan hadis Nabi, "Ada mata yang diharamkan masuk neraka, yaitu mata yang tidak tidur semalaman dalam perjuangan fisabilillah dan mata yang menangis karena takut kepada Allah."

Seorang sufi pernah mengatakan, jika seseorang tidak pernah menangis, dikhawatirkan hatinya gersang. Salah satu kebiasaan para sufi ialah menangis. Beberapa sufi mata dan mukanya menjadi cacat karena air mata yang selalu berderai.

Tuhan memuji orang menangis. "Dan, mereka menyungkurkan wajah sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk." (QS Al-Isra' [17]:109). Nabi Muhammad SAW juga pernah berpesan, "Jika kalian hendak selamat, jagalah lidahmu dan tangisilah dosa-dosamu."

Ciri-ciri orang yang beruntung ialah ketika mereka hadir di bumi langsung menangis, sementara orang-orang di sekitarnya tertawa dengan penuh kegembiraan. Jika meninggal dunia ia tersenyum, sementara orang-orang di sekitarnya menangis karena sedih ditinggalkan.

Tampaknya, kita perlu membayangkan ketika nanti meninggal dunia, apakah akan lebih banyak orang mengiringi kepergian kita dengan tangis kesedihan atau dengan tawa kegembiraan.

Jika air mata kerinduan terhadap Tuhan tidak pernah lagi terurai, apalagi jika air mata selalu kering di atas tumpukan dosa dan maksiat, kita perlu segera melakukan introspeksi. Apakah mata kita sudah mulai bersahabat dengan surga atau neraka.
Red: Budi Raharjo
Rep: Oleh Prof Nasaruddin Umar