Rabu, 21 Oktober 2015

Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Melalui Wakaf Produktif

Oleh Ahmad Dzawil Faza

Allah SWT telah memberikan karunia dan anugrah yang begitu besar bagi bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, jika kita melihat potensi sumber daya alam yang ada di Indonesia, maka sudah selayaknya Indonesia menjadi bangsa yang makmur, berdaulat dan swasembada dalam segala hal baik dari energi, mineral, pangan, dan lain sebagainya. Sudah seharusnya kandungan mineral yang ada dan juga kekayaan hutan serta laut dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat kita sendiri. Menurut McKinsey Global Institute yang melakukan survey di Indonesia pada tahun 2012, menjelaskan bahwa Indonesia pada tahun 2030 akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke – 7 (tujuh) di dunia dengan 1,8 triliun dolar AS untuk peluang pasar dalam jasa konsumen, agrikultur dan perikanan, serta sumber daya energi dan pendidikan.
Akan tetapi, yang menjadi kendala adalah masih minimnya produktivitas, pertumbuhan yang belum merata, dan belum mampu menjaga kenaikan tingkat permintaan masyarakat[1]. Prosentase penduduk miskin di Indonesia per September 2014 mencapai 11,25 % atau berjumlah 27.728.000 juta jiwa yang tersebar di seluruh provinsi. Hal ini dapat diartikan bahwa masih ada rakyat Indonesia yang berada dalam kondisi ekonomi lemah dan inilah yang harus menjadi fokus pemerintah.
Dalam Islam sendiri Allah SWT telah berfirman dalam Al – Qur’an Surat Al –Hasyr ayat 7 yang artinya “....agar harta itu jangan hanya beredar diantara orang- orang kaya diantara kamu...”. Ayat tersebut di atas jelas bahwa dalam konsep Islam harta tidak boleh dikuasai hanya oleh satu atau sekelompok orang kaya saja, namun harus juga dapat dirasakan manfaatnya oleh orang – orang yang tidak mampu (dhu’afa). Salah satu konsep distribusi harta dalam Islam adalah wakaf. Kita sering mendengar istilah ZISWAF (Zakat, Infaq, Sedekah, dan Wakaf), akan tetapi dalam hal praktis masyarakat masih sedikit yang memahami hal – hal tersebut khususnya wakaf. Masyarakat mengetahui wakaf hanya seputar wakaf masjid, sekolahan, dan kuburan. Ini tidak salah, namun wakaf tersebut hanya bersifat sosial dan implikasi terhadap kehidupan khususnya perekonomian masyarakat belum maksimal atau bahkan tidak ada sama sekali.
Dalam hal wakaf selain wakaf sosial dikenal juga istilah wakaf produktif. Wakaf produktif tidak berbeda dengan pengertian wakaf secara bahasa yaitu menahan harta benda wakaf tersebut agar tidak berkurang. Namun, wakaf produktif yaitu selain menahan pokok wakaf, nadzir juga harus mengembangkan harta benda wakaf tersebut agar menghasilkan surplus wakaf (produktif). Wakaf produktif dapat menjadi solusi pembiayaan ummat Islam di tengah kondisi perekonomian yang tidak stabil karena hasil pengelolaan wakaf produktif tersebut dapat digunakan untuk membangun perekonomian masyarakat, pelayanan kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.
Nadzir yang profesional akan mengembangkan harta benda wakaf tersebut ke dalam usaha – usaha yang halal, profitable, dan memiliki tingkat pengembalian investasi (ROI) yang tidak terlalu lama. Oleh karena itu, nadzir harus bertanggungjawab penuh terhadap pengembangan harta benda wakaf tersebut dari awal sampai akhir. Seperti contoh harta benda wakaf dikembangkan untuk gedung perkantoran, apartemen, atau perumahan dengan sistem sewa menyewa. Selain itu juga, dapat digunakan ke dalam bentuk deposito di bank syariah atau menanamkan modal ke perusahan. Ini semua dapat dilakukan setelah dilakukan analisis bisnis dan studi kelayakan yang mendalam oleh nadzir. Dapat kita bayangkan bagaimana jika asset – asset tersebut menjadi asset milik ummat Islam di Indonesia dan hasilnya pun akan kembali kepada ummat Islam itu sendiri.
Hasil dari pengelolaan asset – asset tersebut yang menjadi keuntungan (suplus wakaf) dapat diberikan kepada penerima manfaat (mauquf ‘alaihi) dengan pembagian sesuai dengan data yang dimiliki oleh nadzir (misalnya 50%) dari surplus wakaf, 40 % untuk biaya pemeliharaan, sedangkan 10 % menjadi hak nadzir.[2] Pemberdayaan perekonomian masyarakat Indonesia dengan hasil surplus wakaf ini bisa dilakukan misalnya dengan mendirikan balai latihan kerja, pemberian modal usaha bagi sektor mikro dengan sistem bagi hasil dan bebas riba, investasi ke dalam Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS/BMT), mengadakan program satu desa satu produk dan lain sebagainya.
Pemberdayaan ekonomi dengan pemberian modal usaha kepada pelaku usaha mikro sebenarnya merupakan hal yang cocok untuk dilakukan dengan menggunakan dana surplus wakaf. Pemberdayaan ekonomi mikro juga dapat melalui pemberian bibit tanaman untuk para petani, bibit hewan ternak, bibit ikan, alat persawahan, dan lain sebagainya. Setelah mereka sudah masuk waktu panen, maka mereka dapat menjual ke pasar dan mendapatkan harga yang wajar, maka keuntungan tersebut dapat dibagi sesuai dengan kesepakatan nisbah bagi hasil di awal akad antara kita dengan para pelaku usaha mikro tersebut. Tidak hanya pemberian modal usaha saja, akan tetapi pembinaan dan pendampingan usaha juga perlu dilakukan agar mereka merasa diperhatikan misalnya dengan acara pelatihan, workshop, kunjungan industri, mentoring bisnis, dan lain sebagainya.
Masyarakat Indonesia yang mayoritas petani, nelayan, dan pedagang yang seluruhnya bergerak di sektor ekonomi mikro, seharusnya mendapat perhatian lebih oleh pemerintah dalam hal modal kerja atau alat produksi. Dengan wakaf produktif insyaAllah masyarakat yang termasuk dalam kaum dhuafa dapat menerima manfaat sehingga dapat meningkatkan perekonomian keluarga sekaligus dapat meningkatkan perekonomian ummat Islam di Indonesia dengan pembiayaan yang berkelanjutan (suistanable financing) dengan menggunakan wakaf produktif. Wallhu’alam.


[1] McKinsey Global Institute, Perekonomian Nusantara: Menggali Potensi Terpendam Indonesia (Jakarta:McKinsey Global Institute,2012),hal. 6
[2] Prosentase pembagian surplus wakaf di Tabung Wakaf Indonesia, 2015 

Senin, 19 Oktober 2015

Sudah Saatnya Umat Islam Memiliki Asset Wakaf Sendiri

Oleh Ahmad Dzawil Faza

Pengelolaan wakaf produktif yang dilakukan oleh beberapa lembaga nadzir yang ada harus dievaluasi dan ditingkatkan terus menerus. Nadzir yang diberikan wewenang dan tanggungjawab untuk menghimpun dan mengembangkan harta benda wakaf harus dapat menunjukkan kinerja yang optimal. Tidak hanya sekedar menerima harta benda wakaf dan mengembangkan begitu saja kemudian diabaikan tanpa adanya pemeliharaan secara berkala terhadap harta benda wakaf tersebut. Memang menjadi permasalahan klasik dan terus berulang harta benda wakaf yang akhirnya rusak atau bahkan dari awal tidak ada rencana atau studi terkait dengan pengembangan harta benda wakaf. Jika mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan berfikir manusia, seharusnya hal – hal tersebut sudah tidak terjadi lagi.
Permasalahan yang lain yang dihadapi dalam pengembangan harta benda wakaf adalah lembaga  - lembaga nadzir yang ada masih saling egois, berjalan dengan program pengembangan masing – masing atau bahkan berkompetisi membangun sebuah asset yang besar. Sudah seharusnya ummat Islam khususnya di Indonesia memiliki asset sendiri yang dihasilkan dari penghimpunan wakaf produktif dan dikelola secara profesional. Seperti di negara tetangga Singapura yang sudah menerapkan ini sejak beberapa tahun lalu.
Jika di dalam dunia perbankan dikenal istilah pembiayaan sindikasi, maka dalam wakaf pun seharusnya ada program jangka panjang yaitu pembangunan gedung baik apartemen, gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, atau lain sebagainya yang asset – asset tersebut dibangun dari dana wakaf yang dikelola oleh gabungan lembaga – lembaga nadzir di Indonesia. Kenapa harus gabungan beberapa nadzir (kolektif) ? karena melihat kekuatan khususnya di dalam penghimpunan masing – masing nadzir masih sangat terbatas, sedangkan dana yang digunakan untuk membangun asset  - asset tersebut sangat besar, maka perlu kerjasama oleh beberapa nadzir. Adapun untuk pengelolaan asset – asset tersebut dapat dilakukan oleh pihak ketiga (manajamen gedung yang profesional) yang ditunjuk oleh nadzir dengan perjanjian pengelolaan yang jelas dan saling menguntungkan satu sama lain. Untuk selanjutnya, hasil atau surplus wakaf tersebut dapat disalurkan ke dalam masing – masing program sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing – masing nadzir. Atau untuk distribusi surplus wakaf dapat dilihat dari porsi penghimpunan wakaf masing – masing nadzir. Hal ini dilakukan sesuai dengan kesepakatan bersama di awal, sehingga menghindari terjadinya konflik dan lain sebagainya.
Badan yang berwenang dalam hal ini adalah Badan Wakaf Indonesia (BWI) seharusnya melihat potensi ini dan mengajak seluruh pihak khususnya nadzir – nadzir yang sudah berpengalaman untuk ikut aktif dalam pengembangan harta benda wakaf secara kolektif. Ummat Islam sudah saatnya memiliki asset wakaf sendiri yang didukung oleh semua pihak dan hasilnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat muslim sendiri baik untuk bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosial, dan lain sebagainya.

Penerapan ini juga akan sangat membutuhkan pemikiran dan kajian yang sangat panjang. Namun jika hal ini tidak kita mulai, maka ummat Islam khususnya di Indonesia tidak akan maju dan akan tertinggal oleh ummat lain,na’udzubillah. Oleh karena itu, pengembangan harta benda wakaf secara kolektif diharapkan dapat menumbuhkan semangat kerja para nadzir dan menumbuhkan rasa optimisme pada ummat Islam sendiri untuk terus bangkit dan maju. Wallua’lam bisshowab.

Belum Maksimalnya Wakaf Uang di Indonesia

Kondisi keuangan dan perekonomian di Indonesia saat ini telah menjadi perhatian bagi semua orang. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika yang semakin melemah hingga menembus angka Rp.14.000,- per dollar Amerika dan inflasi berada di kisaran 7,5 %, membuat masyarakat khususnya kelas ekonomi menengah ke bawah khawatir jika hal ini terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama. Harus ada solusi nyata dari pemerintah khususnya untuk mengatasi permasalahan ekonomi kita saat ini. Selain diperlukan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas, juga diperlukan pula pemimpin yang aware dan kompeten terhadap permasalahan ini.
Dalam sistem ekonomi Islam banyak solusi yang telah ditawarkan untuk membuat perekonomian suatu negara stabil dan sejahtera. Selain perbankan syariah dengan keperpihakannya terhadap sektor riil dan bebas bunga, ataupun lembaga keuangan syariah non Bank, ada juga peran Zakat, Infaq, Sedekah, dan Wakaf dalam pemberdayaan masyarakat yang kurang mampu (dhuafa). Sebenarnya jika hal itu semua dapat dikelola dengan amanah, profesional, dan kompeten, maka insyaAllah kondisi negara Indonesia akan menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Dalam hal ini akan coba dibahas sedikit tentang kondisi wakaf uang di Indonesia. Sejak ada Undang - Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun  2006 serta beberapa Peraturan yang dikeluarkan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI), wakaf uang sudah mulai diminati dan dekat dengan masyarakat sehingga lahirlah beberapa lembaga pengelola wakaf (nadzir) baik perorangan maupun badan hukum. Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) juga telah mengadakan kerjasama dengan beberapa lembaga keuangan syariah untuk melakukan sosialisasi dan penghimpunan wakaf dalam bentuk uang.
Sebanarnya jika potensi wakaf uang ini dioptimalkan, maka akan dapat membantu masyarakat dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dalam mencukupi kebutuhan sehari – hari dan dalam hal penyediaan modal usaha. Karena yang digunakan adalah wakaf produktif, sehingga hasil dari wakaf produktif itu yang akan dipakai untuk memajukan perekonomian masyarakat baik dengan sistem pinjaman, bagi hasil atau yang lainnya yang sesuai dengan syariat Islam.
Dalam Undang - Undang Nomor 41 Tahun 2004 pasal 28 disebutkan bahwa wakif dapat mewakafkan benda bergerak (berupa uang) melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh menteri. Disebutkan juga dalam Peraturan Badan Wakaf Indonesia No. 1 Tahun 2009 disebutkan bahwa wakaf uang dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu melalui Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS PWU) yang sudah kerjasama dengan nadzir ataupun tidak langsung melalui ATM, mobile Banking, net banking, dan lain sebagainya.
Akan tetapi kendala yang dihadapi langsung di lapangan adalah kurangnya pemahaman dan koordinasi antara stakeholders wakaf sendiri baik dari Kementrian Agama RI, BWI, LKS PWU, dan nadzir. Salah satu contoh adalah tidak adanya ketegasan dari pihak Pemerintah dalam hal ini adalah BWI terhadap LKS PWU yang tidak mengetahui tentang wakaf uang tersebut. Selain itu, belum adanya lembaga penjamin syariah yang mau bekerjasama dalam hal penjaminan asset  - asset wakaf. Kemudian dari LKS PWU sendiri belum adanya pemahaman tentang wakaf uang dari atas ke bawah, sehingga nadzir kesulitan dalam penghimpunan wakaf uang.

Hal – hal tersebut di atas, diharapkan dapat diselesaikan dengan baik dan bijaksana sehingga wakaf uang dapat berjalan sesuai dengan peraturan  - peraturan yang berlaku. Harus ada koordinasi dan pertemuan semua pihak yang berkepentingan sehingga dapat terjadi kesepakatan bersama yang hasilnya juga dapat diinformasikan kepada seluruh pihak. Wallahua’lam