Oleh Ahmad
Dzawil Faza
Allah SWT telah
memberikan karunia dan anugrah yang begitu besar bagi bangsa Indonesia.
Bagaimana tidak, jika kita melihat potensi sumber daya alam yang ada di Indonesia,
maka sudah selayaknya Indonesia menjadi bangsa yang makmur, berdaulat dan
swasembada dalam segala hal baik dari energi, mineral, pangan, dan lain
sebagainya. Sudah seharusnya kandungan mineral yang ada dan juga kekayaan hutan
serta laut dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat kita sendiri. Menurut McKinsey
Global Institute yang melakukan survey di Indonesia pada tahun 2012,
menjelaskan bahwa Indonesia pada tahun 2030 akan menjadi negara dengan ekonomi
terbesar ke – 7 (tujuh) di dunia dengan 1,8 triliun dolar AS untuk peluang
pasar dalam jasa konsumen, agrikultur dan perikanan, serta sumber daya energi
dan pendidikan.
Akan tetapi,
yang menjadi kendala adalah masih minimnya produktivitas, pertumbuhan yang
belum merata, dan belum mampu menjaga kenaikan tingkat permintaan masyarakat[1].
Prosentase penduduk miskin di Indonesia per September 2014 mencapai 11,25 %
atau berjumlah 27.728.000 juta jiwa yang tersebar di seluruh provinsi. Hal ini
dapat diartikan bahwa masih ada rakyat Indonesia yang berada dalam kondisi ekonomi
lemah dan inilah yang harus menjadi fokus pemerintah.
Dalam Islam
sendiri Allah SWT telah berfirman dalam Al – Qur’an Surat Al –Hasyr ayat 7 yang
artinya “....agar harta itu jangan hanya beredar diantara orang- orang kaya
diantara kamu...”. Ayat tersebut di atas jelas bahwa dalam konsep Islam
harta tidak boleh dikuasai hanya oleh satu atau sekelompok orang kaya saja,
namun harus juga dapat dirasakan manfaatnya oleh orang – orang yang tidak mampu
(dhu’afa). Salah satu konsep distribusi harta dalam Islam adalah wakaf. Kita
sering mendengar istilah ZISWAF (Zakat, Infaq, Sedekah, dan Wakaf), akan tetapi
dalam hal praktis masyarakat masih sedikit yang memahami hal – hal tersebut
khususnya wakaf. Masyarakat mengetahui wakaf hanya seputar wakaf masjid,
sekolahan, dan kuburan. Ini tidak salah, namun wakaf tersebut hanya bersifat
sosial dan implikasi terhadap kehidupan khususnya perekonomian masyarakat belum
maksimal atau bahkan tidak ada sama sekali.
Dalam hal wakaf
selain wakaf sosial dikenal juga istilah wakaf produktif. Wakaf produktif tidak
berbeda dengan pengertian wakaf secara bahasa yaitu menahan harta benda wakaf
tersebut agar tidak berkurang. Namun, wakaf produktif yaitu selain menahan
pokok wakaf, nadzir juga harus mengembangkan harta benda wakaf tersebut agar
menghasilkan surplus wakaf (produktif). Wakaf produktif dapat menjadi solusi
pembiayaan ummat Islam di tengah kondisi perekonomian yang tidak stabil karena
hasil pengelolaan wakaf produktif tersebut dapat digunakan untuk membangun
perekonomian masyarakat, pelayanan kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.
Nadzir yang
profesional akan mengembangkan harta benda wakaf tersebut ke dalam usaha –
usaha yang halal, profitable, dan memiliki tingkat pengembalian
investasi (ROI) yang tidak terlalu lama. Oleh karena itu, nadzir harus
bertanggungjawab penuh terhadap pengembangan harta benda wakaf tersebut dari
awal sampai akhir. Seperti contoh harta benda wakaf dikembangkan untuk gedung
perkantoran, apartemen, atau perumahan dengan sistem sewa menyewa. Selain itu
juga, dapat digunakan ke dalam bentuk deposito di bank syariah atau menanamkan
modal ke perusahan. Ini semua dapat dilakukan setelah dilakukan analisis bisnis
dan studi kelayakan yang mendalam oleh nadzir. Dapat kita bayangkan bagaimana
jika asset – asset tersebut menjadi asset milik ummat Islam di Indonesia dan
hasilnya pun akan kembali kepada ummat Islam itu sendiri.
Hasil dari
pengelolaan asset – asset tersebut yang menjadi keuntungan (suplus wakaf) dapat
diberikan kepada penerima manfaat (mauquf ‘alaihi) dengan pembagian
sesuai dengan data yang dimiliki oleh nadzir (misalnya 50%) dari surplus wakaf,
40 % untuk biaya pemeliharaan, sedangkan 10 % menjadi hak nadzir.[2]
Pemberdayaan perekonomian masyarakat Indonesia dengan hasil surplus wakaf ini
bisa dilakukan misalnya dengan mendirikan balai latihan kerja, pemberian modal
usaha bagi sektor mikro dengan sistem bagi hasil dan bebas riba, investasi ke
dalam Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS/BMT), mengadakan program satu desa
satu produk dan lain sebagainya.
Pemberdayaan
ekonomi dengan pemberian modal usaha kepada pelaku usaha mikro sebenarnya
merupakan hal yang cocok untuk dilakukan dengan menggunakan dana surplus wakaf.
Pemberdayaan ekonomi mikro juga dapat melalui pemberian bibit tanaman untuk
para petani, bibit hewan ternak, bibit ikan, alat persawahan, dan lain
sebagainya. Setelah mereka sudah masuk waktu panen, maka mereka dapat menjual
ke pasar dan mendapatkan harga yang wajar, maka keuntungan tersebut dapat dibagi
sesuai dengan kesepakatan nisbah bagi hasil di awal akad antara kita dengan
para pelaku usaha mikro tersebut. Tidak hanya pemberian modal usaha saja, akan
tetapi pembinaan dan pendampingan usaha juga perlu dilakukan agar mereka merasa
diperhatikan misalnya dengan acara pelatihan, workshop, kunjungan industri, mentoring
bisnis, dan lain sebagainya.
Masyarakat Indonesia
yang mayoritas petani, nelayan, dan pedagang yang seluruhnya bergerak di sektor
ekonomi mikro, seharusnya mendapat perhatian lebih oleh pemerintah dalam hal
modal kerja atau alat produksi. Dengan wakaf produktif insyaAllah masyarakat
yang termasuk dalam kaum dhuafa dapat menerima manfaat sehingga dapat
meningkatkan perekonomian keluarga sekaligus dapat meningkatkan perekonomian
ummat Islam di Indonesia dengan pembiayaan yang berkelanjutan (suistanable
financing) dengan menggunakan wakaf produktif. Wallhu’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar